Pay It Forward


HANYA MEMBERI, TAK HARAP KEMBALI, BERIKAN KEPADA YANG LAIN
Ada sebuah film bagus yang luput dari perhatian media yang berjudul Pay It Forward., dimainkan oleh dua pemenang “academy awards”, Helen Hunt dan Kevin Spacey, dan seorang pemain cilik Haley Osment, yang berperan sebagai Trevor, seorang anak yang mempunyai ide hebat untuk mengubah dunia. Kami tidak akan bercerita secara panjang lebar, siapa tahu anda ingin mencarinya di toko VCD, tetapi kami akan mengulas sedikit mengapa film ini bagus untuk dijadikan contoh pendidikan karakter untuk segala usia.
Menerjemahkan “Pay It Forward” ke dalam bahasa Indonesia agak sulit, dan dalam teks terjemahan yang ada dalam VCD yang beredar di Indonesia diartikan sebagai “Bayar Dimuka”, dan ini adalah keliru. Mungkin dengan penjelasan berikut ini kita akan lebih mengerti konteksnya. Bayangkan kalau anda menolong seseorang dan anda katakan padanya untuk tidak membalasnya (Pay It Back), tetapi membalasnya kepada orang lain (Pay It Forward). Inilah pesan mendasar dari film ini yang digambarkan dengan alur cerita yang begitu menyentuh hati.
Diceritakan bahwa seorang anak usia 11 tahun, Trevor, mendapatkan tugas dari gurunya untuk membuat sebuah proyek yang dapat mengubah dunia menjadi lebih baik. Trevor mendapatkan sebuah ide yang jenius, yaitu bagaimana membuat sebuah kebaikan berantai. Ia merencanakan untuk berbuat baik kepada tiga orang, dan masing-masing yang ditolong Trevor, diharapkan dapat membalas kebaikannya kepada tiga orang lain, dan seterusnya setiap orang yang menerima kebaikan diharapkan dapat “pay it forward” kepada tiga orang lainnya, sehingga penyebaran kebaikan ini bisa begitu meluas.
Apakah ini suatu yang mustahil? Menurut Trevor, tidak. Alur cerita untuk melakukan kebaikan ini memang tidak digambarkan secara mulus, tetapi penuh dengan rasa kesedihan, kekecewaan, dan juga rasa kemenangan yang menyertai Trevor yang mempunyai komitmen agar proyek “pay it forward”nya bisa berjalan. Bahkan ia rela mengorbankan ‘hidup’nya sendiri demi keyakinannya akan ide “pay it forward”. Trevor boleh puas, walaupun ia tidak melihatnya, apa yang dilakukannya ternyata telah mempunyai dampak yang sangat berarti, dan mungkin dapat membuat dunia menjadi lebih baik.
Senantiasa berbuat baik tanpa pamrih memang memerlukan suatu sikap mental yang bertolak belakang dengan kebiasaan manusia jaman moderen. Mungkin banyak diantara kita tergerak untuk berbuat kebajikan karena ada alasan-alasan tertentu yang orientasinya untuk kepentingan diri juga. Kita mau memberikan sesuatu, asal kita juga mendapatkan sesuatu sebagai imbalan, entah itu dalam bentuk materi atau non-materi. Apakah ini tidak baik? Belum tentu, dan berikut ini penjelasannya.
Bayangkan ada sebuah garis yang menghubungkan dua titik ide yang akan menentukan arah pembentukan karakter kita; (A) Berikan apa yang dapat diberikan kepada dunia,, dan (B) Ambil apa yang dapat diambil dari dunia. Kedua ekstrim ini dapat menjadi pedoman untuk kita senantiasa bertanya kepada diri sendiri, apakah kita akan menjadi “pemberi” atau “pengambil”. Ide “pay it forward” adalah perilaku untuk selalu berbuat kebajikan yang akan mendatangkan kebaikan berantai yang bernuara pada titik A.
Semakin banyak memberi atau berbuat kebajikan kita akan memberikan nilai tambah (added value) kepada dunia. Sekecil apa pun, bahkan memungut paku dari jalan juga adalah perbuatan yang mendatangkan nilai tambah. Seorang petani yang bekerja keras menanam padi di sawah, adalah seorang pelaku kebajikan karena added value yang diciptakan banyak sekali. Dari sebidang lahan kosong, ia dapat menciptakan nilai tambah yang ia dapat pakai untuk menafkahkan seluruh keluarga, juga mensuplai pangan bagi penduduk di kota, kontribusi pada GDP, dan seterusnya dengan efek ‘multiplier’nya. Segala perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi lingkungan adalah perbuatan amal shaleh.
Sebaliknya, kalau kita mengambil banyak dari dunia dan ternyata mendatangkan kerugian bagi lingkungan fisik dan sosial, maka kita akan mengadakan kerusakan di muka bumi (destroyed value). Seorang pengusaha yang diberikan HPH, kalau ia menebang hutan lebih banyak dari yang ia tanam kembali, maka ia adalah pelaku destroyed value. Perbuatan memperkaya diri dengan tidak halal, seperti me’mark-up’ nilai proyek, menerima suap, menjadi rentenir, pencari rente, atau calo jabatan untuk mencari keuntungan, adalah juga bentuk dari perilaku yang akan mendatangkan kerusakan di muka bumi, termasuk efek ‘multiplier’ negatifnya. Perbuatan yang mendatangkan kerugian dan kerusakan, adalah perbuatan mungkar.
Bagaimana dengan Bill Gates, apakah ia melakukan added value atau destroyed value? Kekayaan Bill Gates mencapai 60 milyar dollar, tetapi added value yang diciptakannya pada masyarakat dunia ratusan atau ribuan kali dari jumlah tersebut. Coba bayangkan kalau kita masih memakai teknologi mesin ketik.
Jadi, kalau suatu kaum atau bangsa mengalami penderitaan karena telah terjadi kerusakan dalam berbagai segi kehidupan, maka sudah dapat dipastikan bahwa perbuatan manusia yang memberikan nilai tambah kepada dunia jauh lebih sedikit daripada yang membawa kerusakan.
Secara sederhana, kualitas karakter kita dipengaruhi oleh pertanyaan terus menerus kepada diri kita, “apakah perilaku saya mendatangkan added value atau destroyed value?” “Apakah saya senantiasa ingin mengambil dari apa yang saya rasa dunia berhutang kepada saya, atau apakah saya selalu ingin “pay it forward”, karena saya merasa berhutang banyak kepada dunia?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar