Kekuatan Pikiran

“DURANGAMAM ekacaram asariram guhasayam ye cittam sannamessanti mokkhanti marabandhana”. Arti: Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak memiliki wujud, dan terletak di dalam hati sanubari (gua). Mereka yang dapat menaklukkannya, akan bebas dari jeratan mara.” (Dhammapada : 37)

Orang akan lebih mudah membicarakan sesuatu dari pada melakukan sesuatu. Tanpa disadari bahwa dalam kondisi tubuh kita terdapat tiga energi yang luar biasa. Energi yang diperoleh melalui pikiran, melalui ucapan, dan melalui perbuatan badan jasmani. Ketiga hal ini harus ada koordinasi yang baik dengan landasan suatu ajaran agama. Tanpa ada landasan agama yang benar, maka ketiga faktor tersebut akan berjalan masing-masing sehingga tidak ada kesesuaian antara pikiran, ucapan, dan perbuatan. Hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan manusia.

Dalam Buddha Dharma dikenal istilah yang disebut meditasi. Kata tersebut dipergunakan sebagai sinonim dari semadi yaitu pemusatan pikiran dan konsentrasi. Konsep Zen misalnya, yang terkenal dan menjadi nama aliran mazhab yang mengutamakan meditasi sebagai bentuk disiplin dan cara hidup.

Meditasi dalam Buddha Dharma adalah cara hidup yang menyeluruh, dan pada dasarnya bukan pengasingan diri kehidupan, bukan hanya bagi petapa dan yogi penghuni hutan. Namun dengan berlatih meditasi agar terbiasa mengendalikan pikiran yang selalu membara jauh. Dengan pikiran yang terkendali maka akan menghasilkan ucapan dan perbuatan yang baik dan berbudi. Buddha membandingkan proses pemusatan pikiran dengan proses mendapatkan emas murni. Emas yang semula memiliki kandungan kotoran dicuci, dilebur berulang-ulang. Hasilnya, emas murni yang semula lentor dan menjadi bersih , mengkilap, menarik dan bahkan mahal harganya. Emas murni yang telah diolah tersebut, bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Demikian juga dengan pikiran yang murni dan terpusat dapat diarahkan untuk merealisasi setiap cabang pengetahuan dan kemampuan luar biasa yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup, tampa merugikan makhluk apapun juga.

Perumpamaan sejenis yang dicontohkan oleh Buddha dapat ditemukan dalam Kitab Majjhima Nikaya. Menjinakkan pikiran seperti hanya menjinakkan dan melatih gajah liar. Menjinakkan gajah liar yang baru lebih mudah dengan bantuan gajah lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar di ikat pada gajah jinak yang membimbingnya ke luar dari hutan. Gajah yang diikat itu mulai di latih bagaimana seharusnya mengatur laku supaya diterima oleh lingkungannya yang baru.” (Majjhima-nikaya: III; 132)

Menjinakkan pikiran merupakan proses belajar yang memerlukan waktu, kesabaran, dan ketekunan. Dalam sabda Buddha disebutka ,” Aku tidak mengatakan bahwa pencapaian pengetahuan yang mendalam datang dengan segera; sebaliknya, hal itu datang melalui suatu latihan yang bertahap, suatu pelaksanaan yang bertahap, suatu jalan yang bertahap.” (Majjhima- nikaya I; 479)

Melalui pikiran, seseorang dapat berlatih agar terbiasa mengendalikan diri sendiri dengan menyucikan pikiran. Buddha bersabda, ”Seseorang tidak mungkin mampu mengendalikan pikiran orang lain, tetapi paling tidak ia dapat bertekad, ‘Aku harus mampu mengendalikan pikiranku sendiri.’ Dengan cara inilah engkau seharusnya melatih dirimu sendiri, dan dengan cara inilah pengendalian pikiran dilakukan.” Ia membandingkan dengan orang yang bercermin, mengamati dan membersihkan wajahnya sendiri, pikiran pun dengan cermat memeriksa, apakah mengandung berbagai bentuk kotoran batin. Disebutkan kembali dalam Sabda Buddha,” Walaupun seseorang dapat menaklukan ribuan musuh dalam pertempuran, sesungguhnya penakluk yang terbesar adalah orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri. Dan menaklukan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukan orang lain; orang yang telah menaklukan dirinya sendiri selalu hidup terkendali.” (Dhammapada : 103)**< “DURANGAMAM ekacaram asariram guhasayam ye cittam sannamessanti mokkhanti marabandhana”. Arti: Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak memiliki wujud, dan terletak di dalam hati sanubari (gua). Mereka yang dapat menaklukkannya, akan bebas dari jeratan mara.” (Dhammapada : 37) Orang akan lebih mudah membicarakan sesuatu dari pada melakukan sesuatu. Tanpa disadari bahwa dalam kondisi tubuh kita terdapat tiga energi yang luar biasa. Energi yang diperoleh melalui pikiran, melalui ucapan, dan melalui perbuatan badan jasmani. Ketiga hal ini harus ada koordinasi yang baik dengan landasan suatu ajaran agama. Tanpa ada landasan agama yang benar, maka ketiga faktor tersebut akan berjalan masing-masing sehingga tidak ada kesesuaian antara pikiran, ucapan, dan perbuatan. Hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan manusia. Dalam Buddha Dharma dikenal istilah yang disebut meditasi. Kata tersebut dipergunakan sebagai sinonim dari semadi yaitu pemusatan pikiran dan konsentrasi. Konsep Zen misalnya, yang terkenal dan menjadi nama aliran mazhab yang mengutamakan meditasi sebagai bentuk disiplin dan cara hidup. Meditasi dalam Buddha Dharma adalah cara hidup yang menyeluruh, dan pada dasarnya bukan pengasingan diri kehidupan, bukan hanya bagi petapa dan yogi penghuni hutan. Namun dengan berlatih meditasi agar terbiasa mengendalikan pikiran yang selalu membara jauh. Dengan pikiran yang terkendali maka akan menghasilkan ucapan dan perbuatan yang baik dan berbudi. Buddha membandingkan proses pemusatan pikiran dengan proses mendapatkan emas murni. Emas yang semula memiliki kandungan kotoran dicuci, dilebur berulang-ulang. Hasilnya, emas murni yang semula lentor dan menjadi bersih , mengkilap, menarik dan bahkan mahal harganya. Emas murni yang telah diolah tersebut, bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Demikian juga dengan pikiran yang murni dan terpusat dapat diarahkan untuk merealisasi setiap cabang pengetahuan dan kemampuan luar biasa yang diperlukan oleh setiap makhluk hidup, tampa merugikan makhluk apapun juga. Perumpamaan sejenis yang dicontohkan oleh Buddha dapat ditemukan dalam Kitab Majjhima Nikaya. Menjinakkan pikiran seperti hanya menjinakkan dan melatih gajah liar. Menjinakkan gajah liar yang baru lebih mudah dengan bantuan gajah lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar di ikat pada gajah jinak yang membimbingnya ke luar dari hutan. Gajah yang diikat itu mulai di latih bagaimana seharusnya mengatur laku supaya diterima oleh lingkungannya yang baru.” (Majjhima-nikaya: III; 132) Menjinakkan pikiran merupakan proses belajar yang memerlukan waktu, kesabaran, dan ketekunan. Dalam sabda Buddha disebutka ,” Aku tidak mengatakan bahwa pencapaian pengetahuan yang mendalam datang dengan segera; sebaliknya, hal itu datang melalui suatu latihan yang bertahap, suatu pelaksanaan yang bertahap, suatu jalan yang bertahap.” (Majjhima- nikaya I; 479) Melalui pikiran, seseorang dapat berlatih agar terbiasa mengendalikan diri sendiri dengan menyucikan pikiran. Buddha bersabda, ”Seseorang tidak mungkin mampu mengendalikan pikiran orang lain, tetapi paling tidak ia dapat bertekad, ‘Aku harus mampu mengendalikan pikiranku sendiri.’ Dengan cara inilah engkau seharusnya melatih dirimu sendiri, dan dengan cara inilah pengendalian pikiran dilakukan.” Ia membandingkan dengan orang yang bercermin, mengamati dan membersihkan wajahnya sendiri, pikiran pun dengan cermat memeriksa, apakah mengandung berbagai bentuk kotoran batin. Disebutkan kembali dalam Sabda Buddha,” Walaupun seseorang dapat menaklukan ribuan musuh dalam pertempuran, sesungguhnya penakluk yang terbesar adalah orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri. Dan menaklukan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukan orang lain; orang yang telah menaklukan dirinya sendiri selalu hidup terkendali.” (Dhammapada : 103)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar